Jika bepergian ke Beijing, sempatkanlah untuk menengok Masjid Niujie yang terletak di daerah Niujie, perkampungan muslim di Beijing.
Masjid Niujie (baca: Niucie, dengan bunyi “e” seperti pada kata “eropa”) merupakan masjid terbesar di Beijing dan tertua di China. Masjid ini dibangun sejak tahun 996 Masehi, yang diprakarsai oleh Nasurudin, seorang mahasiswa Arab. Pada tahun 1476 Masehi, Masjid Niujie diberi nama “Libaisi” oleh kaisar China. Perbaikan bangunan masjid dilakukan melalui 4 tahap proyek pemerintah berskala nasional sejak tahun 1949. Sekarang, Masjid Niujie telah ditetapkan sebagai salah satu peninggalan dan relif penting dalam kebudayaan China, dan dilindungi oleh pemerintah nasional China sejak 13 Januari 1988.
Tampak luar, masjid ini tak ubahnya seperti bangunan tradisional China lainnya yang dikelilingi oleh tembok batu setinggi kurang lebih 2 meter. Bahkan jika tidak benar-benar memperhatikan, bangunan ini tak tampak seperti masjid. Hanya ada semacam kubah kecil yang mengiyakan bahwa bangunannya adalah masjid, itu pun tampak samar.
Masjid Niujie merupakan kompleks bangunan. Di dalamnya terdapat tempat tinggal para imam (Imam’s Chamber) yang berupa bangunan 2 lantai dan terdiri atas kamar berderet-deret. Terdapat juga bangunan untuk para pengurus masjid, kantor administrasi, bangunan masjid utama, dan bangunan masjid untuk jamaah perempuan yang terpisah dengan bangunan utama masjid. Selain itu, juga terdapat makam dua orang Syeh yang mengajar di Masjid Niujie pada sekitar tahun 1270 Masehi. Kedua syeh tersebut berasal dari luar negeri (tidak disebutkan dari mana asalnya). Mereka meninggal pada tahun 1280 dan 1283 Masehi.
Seperti bangunan China pada umumnya, warna merah menyala menjadi warna utama pada desain interior dan eksterior bangunan kompleks masjid, terutama pada bangunan utamanya (Worship Hall). Interior masjid merupakan perpaduan masjid klasik di Arab dan kerajaan China. Dinding, karpet, pintu masjid utama didominasi oleh warna merah serta dihias dengan kaligrafi Arab dan ukiran China warna keemasan.
Bangunan utama dari kompleks Masjid Niujie adalah Grand Hall, yang terdiri atas 3 bagian, yaitu Cave Hall atau mihrab, Worship Hall, dan Attached Hall. Cave Hall atau mihrabnya didirikan pada masa Dinasti Liao, dan berlanjut pada masa Dinasti Ming dan Qing. Mihrab masjid ini didirikan di atas tanah seluas 760 meter persegi dengan panjang 39 meter. Dekorasinya merupakan campuran dekorasi Arab klasik dan China.
Menara masjid (minaret) memiliki tinggi hanya sekitar 8-9 meter, yang terletak di depan Worship Hall dan dipisahkan dengan halaman berpasir di depan Worship Hall. Fasadnya terbuat dari batu (seperti batu pura), dengan struktur bangunan khas China. Jika tidak terletak di dalam kompleks masjid, bangunan ini justru lebih tampak seperti kuil Budha.
Berkunjung ke Masjid Niujie membawa pengalaman rohani tersendiri. Apalagi saat datang ke sana, tampak dua orang muslim China sedang menghafal ayat Al Quran di dalam Worship Hall. Saya sempat merekamnya selama beberapa menit, karena bagi saya itu adalah hal yang tidak biasa.
Tidak sulit untuk mencapai masjid Niujie karena lokasinya mudah dicapai dengan kendaraan umum (kereta dan bus). Jika menggunakan subway, kita bisa turun di stasiun Guang An Men. Dari stasiun, kita dapat naik bis umum (semacam Trans Jakarta) menuju Niujie Street hingga perempatan Jalan Niujie dan Shuru Hutong. Masjid Niujie terletak di sudut jalan tersebut. Terdapat beberapa pintu masuk masjid. Jika melewati jalan Niujie, maka kita akan masuk melalui pintu barat. Pintu utara terletak di sisi Shuru Hutong.
Daerah Niujie merupakan perkampungan muslim terbesar di Beijing, atau bahkan mungkin di China. Jika jalan-jalan ke Beijing, menginap di daerah ini akan sangat memudahkan bagi muslim. Setidaknya, di sepanjang jalan ini sangat mudah ditemukan makanan-makanan halal, hotel/penginapan muslim, bahkan supermarket muslim. Selain Masjid Niujie, terdapat juga beberapa masjid lain yang ukurannya lebih kecil, dan bukan berupa kompleks. Masjid-masjid kecil itu memiliki desain yang lebih “umum” dibandingkan dengan Masjid Niujie yang sangat didominasi oleh gaya bangunan tradisional China.
Ironisnya, selama di Beijing saya baru menemukan pengemis justru ketika berada di perkampungan muslim ini. Bahkan, di depan gerbang masjid terdapat banyak peminta-minta, yang kala itu jumlahnya sekitar 5-6 orang. Kebanyakan dari mereka adalah kakek-kakek dan nenek-nenek berjilbab yang berusia sekitar 60-70 tahun. Jika ada satu saja yang diberi, maka yang lain akan terus mengikuti kita sampai mereka mendapat uang. Karena merasa tidak nyaman dan sedikit was-was, saya pun segera masuk ke area masjid.
Sampai di pintu utama masjid, akan ada kantor administrasi kecil di depan. Ketika saya ke sana, kantor itu dijaga oleh seorang bapak-bapak setengah baya yang ramah dan tampak sangat senang bertemu dengan sesama muslim. Meskipun tidak bisa berbahasa Inggris, tetapi dia masih berusaha untuk tetap berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Meskipun masjid ini telah dijadikan sebagai salah satu situs berharga peninggalan budaya China, masuk ke masjid Niujie tidak dipungut biaya sama sekali. Akan tetapi, jika ingin ber-infaq, di depan kantor administrasi tadi terdapat kotak infaq yang boleh kita isi seikhlasnya.
———
*Tulisan saya ini dimuat di Leisure Republika edisi Selasa, 1 Mei 2012.