RSS

Category Archives: Beijing

Menengok Masjid Tertua di China

Image

Minaret (Menara) Masjid Niujie

Jika bepergian ke Beijing, sempatkanlah untuk menengok Masjid Niujie yang terletak di daerah Niujie, perkampungan muslim di Beijing.

Masjid Niujie (baca: Niucie, dengan bunyi “e” seperti pada kata “eropa”)  merupakan masjid terbesar di Beijing dan tertua di China. Masjid ini dibangun sejak tahun 996 Masehi, yang diprakarsai oleh Nasurudin, seorang mahasiswa Arab. Pada tahun 1476 Masehi, Masjid Niujie diberi nama “Libaisi” oleh kaisar China. Perbaikan bangunan masjid dilakukan melalui 4 tahap proyek pemerintah berskala nasional sejak tahun 1949. Sekarang, Masjid Niujie telah ditetapkan sebagai salah satu peninggalan dan relif penting dalam kebudayaan China, dan dilindungi oleh pemerintah nasional China sejak 13 Januari 1988.

Tampak luar, masjid ini tak ubahnya seperti bangunan tradisional China lainnya yang dikelilingi oleh tembok batu setinggi kurang lebih 2 meter. Bahkan jika tidak benar-benar memperhatikan, bangunan ini tak tampak seperti masjid. Hanya ada semacam kubah kecil yang mengiyakan bahwa bangunannya adalah masjid, itu pun tampak samar.

Makam Syeh di Masjid Niujie

Kantor Administrasi Masjid Niujie

Masjid Niujie merupakan kompleks bangunan. Di dalamnya terdapat tempat tinggal para imam (Imam’s Chamber) yang berupa bangunan 2 lantai dan terdiri atas kamar berderet-deret. Terdapat juga bangunan untuk para pengurus masjid, kantor administrasi, bangunan masjid utama, dan bangunan masjid untuk jamaah perempuan yang terpisah dengan bangunan utama masjid. Selain itu, juga terdapat makam dua orang Syeh yang mengajar di Masjid Niujie pada sekitar tahun 1270 Masehi. Kedua syeh tersebut berasal dari luar negeri (tidak disebutkan dari mana asalnya). Mereka meninggal pada tahun 1280 dan 1283 Masehi.

Seperti bangunan China pada umumnya, warna merah menyala menjadi warna utama pada desain interior dan eksterior bangunan kompleks masjid, terutama pada bangunan utamanya (Worship Hall). Interior masjid merupakan perpaduan masjid klasik di Arab dan kerajaan China. Dinding, karpet, pintu masjid utama didominasi oleh warna merah serta dihias dengan kaligrafi Arab dan ukiran China warna keemasan.

Worship Hall – Tampak Depan

Di dalam Worship Hall

Bangunan utama dari kompleks Masjid Niujie adalah Grand Hall, yang terdiri atas 3 bagian, yaitu Cave Hall atau mihrab, Worship Hall, dan Attached Hall. Cave Hall atau mihrabnya didirikan pada masa Dinasti Liao, dan berlanjut pada masa Dinasti Ming dan Qing. Mihrab masjid ini didirikan di atas tanah seluas 760 meter persegi dengan panjang 39 meter. Dekorasinya merupakan campuran dekorasi Arab klasik dan China.

Menara masjid (minaret) memiliki tinggi hanya sekitar 8-9 meter, yang terletak di depan Worship Hall dan dipisahkan dengan halaman berpasir di depan Worship Hall. Fasadnya terbuat dari batu (seperti batu pura), dengan struktur bangunan khas China. Jika tidak terletak di dalam kompleks masjid, bangunan ini justru lebih tampak seperti kuil Budha.

Berkunjung ke Masjid Niujie membawa pengalaman rohani tersendiri. Apalagi saat datang ke sana, tampak dua orang muslim China sedang menghafal ayat Al Quran di dalam Worship Hall. Saya sempat merekamnya selama beberapa menit, karena bagi saya itu adalah hal yang tidak biasa.

Tidak sulit untuk mencapai masjid Niujie karena lokasinya mudah dicapai dengan kendaraan umum (kereta dan bus). Jika menggunakan subway, kita bisa turun di stasiun Guang An Men. Dari stasiun, kita dapat naik bis umum (semacam Trans Jakarta) menuju Niujie Street hingga perempatan Jalan Niujie dan Shuru Hutong. Masjid Niujie terletak di sudut jalan tersebut. Terdapat beberapa pintu masuk masjid. Jika melewati jalan Niujie, maka kita akan masuk melalui pintu barat. Pintu utara terletak di sisi Shuru Hutong.

Supermarket Muslim di jalan Niujie

Daerah Niujie merupakan perkampungan muslim terbesar di Beijing, atau bahkan mungkin di China. Jika jalan-jalan ke Beijing, menginap di daerah ini akan sangat memudahkan bagi muslim. Setidaknya, di sepanjang jalan ini sangat mudah ditemukan makanan-makanan halal, hotel/penginapan muslim, bahkan supermarket muslim. Selain Masjid Niujie, terdapat juga beberapa masjid lain yang ukurannya lebih kecil, dan bukan berupa kompleks. Masjid-masjid kecil itu memiliki desain yang lebih “umum” dibandingkan dengan Masjid Niujie yang sangat didominasi oleh gaya bangunan tradisional China.

Ironisnya, selama di Beijing saya baru menemukan pengemis justru ketika berada di perkampungan muslim ini. Bahkan, di depan gerbang masjid terdapat banyak peminta-minta, yang kala itu jumlahnya sekitar 5-6 orang. Kebanyakan dari mereka adalah kakek-kakek dan nenek-nenek berjilbab yang berusia sekitar 60-70 tahun. Jika ada satu saja yang diberi, maka yang lain akan terus mengikuti kita sampai mereka mendapat uang. Karena merasa tidak nyaman dan sedikit was-was, saya pun segera masuk ke area masjid.

Sampai di pintu utama masjid, akan ada kantor administrasi kecil di depan. Ketika saya ke sana, kantor itu dijaga oleh seorang bapak-bapak setengah baya yang ramah dan tampak sangat senang bertemu dengan sesama muslim. Meskipun tidak bisa berbahasa Inggris, tetapi dia masih berusaha untuk tetap berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Meskipun masjid ini telah dijadikan sebagai salah satu situs berharga peninggalan budaya China, masuk ke masjid Niujie tidak dipungut biaya sama sekali. Akan tetapi, jika ingin ber-infaq, di depan kantor administrasi tadi terdapat kotak infaq yang boleh kita isi seikhlasnya.

———

*Tulisan saya ini dimuat di Leisure Republika edisi Selasa, 1 Mei 2012.

Dengan pengurus masjid, di depan Map Plan Masjid Niujie

 

Solo Traveling: It’s Fun!

Trip saya ke Beijing November 2011 lalu adalah solo traveling saya yang pertama. Yep, traveling sendirian. Yah, meskipun sebenarnya tidak pure traveling juga sih. Kan saya ke sana untuk mengikuti Asia Pacific Forestry Week yang diadakan oleh FAO. Tapi lumayan kan, bisa icip-icip Beijing di luar waktu conference, plus nambah cap di paspor dan nyoret visa China saya. Haha

It’s Fun

Pada awalnya, saya mengira solo traveling itu akan sedikit ‘horor’. Pasalnya, saya perempuan, udah gitu badan saya kecil. Kalau ada orang reseh, tangan saya buat nonjok juga paling rasanya ky dicolek doang, haha. Terus lagi, negara yang akan saya kunjungi adalah China! Which is orang-orangnya pada nggak bisa bahasa Inggris, dan identik dengan: kalo kesasar akibatnya fatal. Secara China gede banget dan Beijing juga kotanya luas banget. Hiii… Di negeri sendiri aja saya sering nyasar, nggak tahu jalan, apalagi di China yang ngomongnya cang cing cung ditambah a a u u alias mesti pake bahasa tarzan. Meneketehe?

Tapi ternyata, solo traveling saya tidak horor. Bahkan cenderung fun. Gimana nggak fun? Kalo sendirian, mau jalan ke mana kan ape kate gue, mau jalan jam berapa juga suka-suka gue, dan mau makan apa di mana mah urusan gue. Hehehe. Nggak perlu tuh proposing argument untuk pergi ke sini dan ke sana sama temen traveling kita, kalo seandainya tempat tujuan wisatanya beda-beda. Yang ujung-ujungnya, kalo nggak ada yang ngalah, atau ada yang merasa “tertindas” karena tempat impiannya di-skip, akan bete sebete betenya.

Be Prepared: Peta

Solo traveling saya, meskipun ke China, I was so fine. Buktinya sekalipun saya nggak nyasar sekalipun. Kuncinya: be prepared. Ketika ke Beijing, malam sebelum berangkat saya sudah ngeprin peta subway bilingual (mandarin & English) ukuran A3. Dan it’s so much helping me.

Kalau nggak bawa peta itu, mungkin saya sudah nyasar entah ke mana. Teman saya, yang ngetrip bareng pacarnya, bahkan sampai ketinggalan pesawat balik ke Jakarta karena nyasar. Dan mereka pun harus beli tiket balik yang harganya lebih mahal dibanding tiket PP mereka sebelumnya! Amit-amit deh ketinggalan pesawat, apalagi pas di luar negeri. Nangis garuk-garuk bandara langsung kalo saya, hehehe.

Meskipun di bandara-bandara besar biasanya menyediakan peta gratisan, tak ada salahnya kita siap-siap sendiri. Waktu itu, alasan saya ngeprin peta adalah karena saya nggak tahu apakah PEK (kode bandara Beijing) menyediakan peta gratisan macam itu atau nggak. Kalaupun disediakan, saya nggak jaga-jaga saja kalau peta yang ada pakai tulisan mandarin. Dan waktu itu, kebetulan saya lupa nyari peta di bandara, untungnya, saya sudah bawa sendiri. Jadi tenang… 😀

Do: browsing and… asking!

Sebelum pergi ke tempat tujuan, jangan lupa browsing. Cari rute yang mesti kita pakai, apakah subway, bis, becak, jalan, atau kombinasinya, selengkap mungkin. Jadi ketika keluar penginapan kita nggak bego-bego amat.

Jangan lupakan catatan. Catat hasil browsing-an kita itu. Kalaupun mau nanya ke orang, dan kita lupa, kan tinggal buka catatan. Catatan itu penting karena kemungkinan kita lupa dengan nama-nama asing itu sangat mungkin terjadi. Karena semuanya pasti asing buat kita: nama stasiun kereta, halte bis, stasiun bis, dll. Belum lagi, meskipun hafal, pelafalan kita ketika bertanya ke orang juga sangat mungkin berbeda, sehingga orang juga nggak ngerti atau salah tangkep. So, lebih aman pake tulisan.

Rajin-rajinlah tanya saat di jalan. Yah, meskipun seringkali kalo nanya ke orang China, saya sering ditolak-tolak. Mereka nggak mau ditanyain karena nggak bisa bahasa Inggris. Tips saya sih, kalo mau tanya jangan ke bapak-bapak, ibu-ibu, apalagi kakek-kakek dan nenek-nenek. Pengalaman saya, belum nanya aja udah disuruh pergi. Haha.

Kalau mau tanya, cobalah bertanya pada anak-anak muda. Biasanya mereka relatif lebih welcome untuk ditanya. Kalaupun nggak bisa pake bahasa Inggris, saya biasanya pakai tulisan dan bahasa tubuh, dan mereka pun biasanya berusaha untuk membantu.

Bahasa Tarzan

“Wuuzzz…” kata saya sambil menggerakkan tangan seperti pesawat take off. Itu adalah cara komunikasi saya ketika mau naik taksi ke bandara. Secara sopir taksinya nggak ngerti bahasa Inggris sama sekali. Teman saya yang ketinggalan pesawat tadi, lebih ajib lagi. Katanya setelah sopir taksinya baru ngerti mereka mau ke airport setelah digambarkan pesawat, sambil bilang “Wuuuzzz…” dengan tangan menirukan pesawat take off. Itupun setelah ganti 5 sopir taksi. Hahaha.

Intinya, tetaplah berusaha berkomunikasi, kalau nggak bisa ngomong, ya pakai tulisan, atau bahasa tubuh, atau kombinasi semuanya. Percaya deh, Tuhan pasti membantu hamba-Nya yang mau berusaha, hehehehe.

Konteks Komunikasi

Nah, tak hanya bahasa tarzan. Berusaha memahami bahasa lokal dengan melihat konteksnya juga sangat membantu. Saya sering lho, selama di Beijing, berkomunikasi sama kenek bis dengan cara yang aneh: dia pakai bahasa China, saya pake bahasa Inggris. Tapi keduanya tetap nyambung. Saya tahu dia merespon apa, dia juga tahu saya ngomong apa. Bahkan sekali pernah saya waktu di bis, karena bosan, saya pun tralala trilili belajar angka 1-10 sama kenek bisnya (ibu-ibu). Saya diajarin kode tangan kalau di China itu bagaimana, dan apa bahasa Chinanya 1-10. Tapi ya keduanya tetap pakai bahasa masing-masing, hehehe.

Kemudian, ketika sopir taksi bandara tanya ke saya, “Terminal berapa?” pake bahasa China, tentunya saya nggak ngerti dia ngomong apa. Tapi karena waktu itu saya mau ke bandara, dan si sopir udah ngerti kalau saya mau ke bandara, tentunya saya nebak-nebak, dalam konteks seperti itu mestinya dia akan nanya, “Terminal berapa?” Apalagi si bapak sopir sambil mainin tangan 1 2 3 gitu. Dan that’s right, dia tanya: terminal berapa?

Meskipun begitu, solo traveling ke Beijing sangat tidak saya rekomendasikan buat yang baru pertama jalan-jalan ke luar negeri. Kecuali negara kita semaju Singapore yang ada subway-nya, jadi kita sudah terbiasa dengan subway ria sebelumnya. Keran buat saya, pengalaman ber-subway itu sangat penting. Karena kalau nggak, bakalan bingung gimana caranya, beli tiketnya gimana, jalur ini itu ke arah mana, di interchange station harus ganti kereta, dll. Ujung-ujungnya: salah jalur, nyasar, hehehe.

 

Mengintip Pasar Tradisional di Beijing

Kios-kios di sekitar pasar (berjalan menuju pasar)

Baru sekali ini, saya pergi ke pasar tradisional ketika ke luar negeri. Lumayan juga, jadi tahu kan real life dari masyarakat setempat. Hari minggu pagi, sebelum saya take off ke Jakarta, saya pergi ke pasar tradisional di salah satu pusat kota Beijing. Tentu saja tidak sendirian. Saya menemani Bu Yuni, konselor KBRI yang apartemennya saya tinggali.

Pasar tradisional di Beijing tidak jauh beda dengan pasar tradisional di Jawa, yang kalau musim hujan mungkin juga sama-sama becek. Pasarnya semacam gudang besar, di mana penjualnya berjualan tanpa sekat. Hanya pedagang-pedagang yang berjualan di sudut-sudut pasar yang memiliki toko bersekat.

Keramaian di dalam pasar

Bahan-bahan makanan yang dijual pun relatif sama, kecuali bumbu-bumbunya yang tentu saja tidak selengkap di pasar tradisional kita. Di sana tidak ada bumbu jenis temu-temu-an/akar-akaran (semacam temu kunci, kunir, kencur, laos, dll). Paling akar-akaran yang ada paling hanya jahe. Jadi kalau memasak ya mentok bumbunya itu-itu saja: cabai, bawang merah, bawang putih, garam, gula, merica.

Aneka biji-bijian (grain): beras, beras merah, jagung, dll.

Aneka kacang dan kuaci

Meskipun bahan makanan yang di jual relatif sama dengan di Indonesia, di sana bahan makanan sangat murah, lebih murah daripada di Jawa. Contohnya, 500gram brokoli hanya 2 yuan (sekitar 3000 rupiah), sedangkan di sini bisa belasan ribu rupiah.

Brocoli - cuma 2 yuan per setengah kilogram

Yang menarik, di sana orang-orang berbelanja dengan keranjang yang berbentuk seperti kereta dorong (ditarik seperti koper), dengan bentuk dan warna yang bermacam-macam.

Contoh keranjang belanja di pasar

Beberapa bahan makanan yang dijual, seperti apel, mentimun, dan cabai memiliki bentuk dan ukuran yang unik. Cabai yang saya temui berukuran sepanjang 20-25cm, kira-kira sejengkal tangan saya (bahkan ada yang lebih besar), dan lebarnya 4-7cm. Hehe, bisa kebayang kan besarnya cabai China?

Cabai China. Panjangnya 20-25cm (seukuran telapak tangan), dengan lebar 4-7cm.

Mentimun China

Kalau cabai China segede gaban, apel China justru sebaliknya: sangat mungil dan imut-imut. Warna kulit apelnya campuran antara coklat, hijau muda, terkadang cenderung putih. Ukurannya hanya sebesar 3-4 cm, dan biasanya tidak berbiji. Daging buahnya pun agak seperti kapas, tapi manis dan enak. Timun China juga agak berbeda. Kulitnya seperti berduri (tapi bukan duri), dan agak berbulu, dengan warna hijau tua.

Apel China - besarnya hanya 3-4cm

Satu hal yang membuat saya kaget, di dalam pasar ada mas-mas yang jual minuman keras bergentong-gentong. Entah menuman keras jenis apa saya kurang tahu. Yang jelas, gentongnya persis seperti di film-film kungfu China jaman dulu. Tampang mas-mas itu pun seperti orang teler alias mabuk.

Mas-mas dewa mabuk, alias penjual minuman keras di pasar, hihihi

 
4 Comments

Posted by on December 19, 2011 in Beijing, trip/traveling

 

Belanja di Beijing: Geregetan

Sanlitun-Yashow Market. Pasar yang mirip ITC ini menjual berbagai macam barang mulai dari pakaian sampai souvenir-souvenir khas China.

Bagi saya pengalaman belanja di Beijing sangatlah berkesan dan menggemaskan. Haha. Kenapa? Bukan karena gemas lucu, tapi gemas karena geregetan: geregetan dengan barangnya yang murah-murah; geregetan dengan sikap penjualnya yang kebanyakan songong; geregetan dengan harga tawarnya—yang bisa mencapai 20 kali lipat dari harga aslinya, serta geregetan (campur geli bahkan emosi) dengan respon pedagangnya ketika tawar-menawar.

Saya memang sebelumnya sudah membaca beberapa testimoni orang, dan mendengar orang-orang yang saya temui—yang sudah pernah ke Beijing. Semuanya sampai pada satu kesimpulan: belanja di Beijing harus “nekad” nawarnya, karena harga yang ditawarkan bisa sampai 10 kali lipat.

From 100 to 5 yuan

Barang pertama kali yang saya beli adalah satu set hiasan China dalam kotak. Isinya berupa korek, asbak, dan pembuka tutup botol. Awalnya mereka memberikan tawaran harga 60 yuan. Secara teori harusnya saya menawar 5 yuan saja (dan itu adalah harga tawar maksimal, menurut orang-orang). Tapi, saya masih “tidak tega”. Dalam hati, “masa’ seperti itu saya tawar 5 yuan? Rasanya nggak manusiawi banget.” Lalu saya pun berniat menawar 15 yuan. Rasa “tidak tega” itu masih ada, dan saya menawar berdasarkan standar harga ketika saya membeli souvenir di Singapore dan Bangkok, dan akhirnya membuat mulut saya menawar: 20 yuan. “Mamen, ini China, bukan Singapore atau pun Thailand,” Kata saya dalam hati  setelah menyebut 20 yuan, merasa tolol karena nggak tega nawar.

Akhirnya saya pun membeli barang itu dengan harga 20 yuan (tanpa ada kenaikan harga dari harga tawar saya). Ya iyalah, secara saya nawarnya ketinggian banget-banget.

Saya masih agak menyesal ketika membeli barang itu, karena merasa tidak mempraktekkan teori dan pesan orang-orang ketika belanja di Beijing: tawarlah MAKSIMAL 10 % dari harga yang ditawarkan. Dan saya? Menawar 33% dari harga tawar. Betapa bodohnya, sudah tahu teori tapi nggak dipraktekin.

Penyesalan saya pun bertambah ketika setelah keluar dari gerbang forbidden city, teman saya, Roel, diikuti oleh seorang padagang laki-laki (bapak-bapak) yang menawarkan sebuah hiasan naga.

“Mister, mister, this is good for souvenir. I can give you a good price.”

“Well, very nice.” Roel hanya melirik dan menanggapi ramah, sembari tetap berjalan. Saya yang disampingnya hanya diam saja, tanpa komen.

Akhirnya karena jengah diikuti pedagang, saya menyusul Inge, teman saya yang berjalan di depan. Roel masih berjalan santai dan diikuti bapak-bapak tadi yang  terus nyerocos.

“Mister, just look for a moment. This is very good.”

“Well, thank you, but I’m not interested.”

“I can give you a good price, a hundred (100) yuan only.”

“No, thanks.” Kata Roel. Tapi pedagang itu benar benar bandel dan tetap mengikuti Roel.

Inge yang sedang berjalan dengan saya (kira-kira 5 langkah di depan Roel), akhirnya nyeletuk,

“Roel, tawar aja 1 yuan, nanti juga dia pergi.” Kata Inge, tentu dalam bahasa Inggris.

Akhirnya Roel pun menawar, “Five yuan.”

“No, Sir. That’s too cheap.”

“If not then I’ll not take it” kata Roel.

“Ok, Ok, Five yuan.”

“WHAT?? FIVE YUAN?” Kata Roel, Saya dan Inge berbarengan. Reflek saya dan Inge pun langsung menengok ke belakang menatap Roel dan pedagang itu. Sementara pedagang itu sibuk membungkus si naga, Roel pun sama-sama menatap saya dan Inge dengan sorot mata: iya 5 yuan!

Kami bertiga rada bengong dan pasang muka ‘udah nggak ngerti lagi demi apapun’ karena dari harga 100 yuan ditawar 5 yuan langsung dikasih sama pedagangnya, without any “defence” dari pedagang untuk menaikkan harga!

*Kurang lebih begitu tadi percakapan si Roel dan bapak pedagang itu.

“It’s crazy.” Kata saya dan Inge, lalu kami bertiga pun bergosip dan tertawa-tawa bego membahas barang yang dibeli Roel.

Roel, Inge, Bibilotte dan Saya di Tian'anmen Square (sebelum masuk ke Forbidden City). Tinggi saya nggak nyampe sepundak mereka, wkwkwk 😀

Kata-kata “Ajib” Pedagang di Beijing

Lain cerita dengan harga 100 yuan jadi 5 yuan. Saya dan Lina, anak UGM, mencatat di otak kami kelakukan pedagang-pedagang China yang bisa bikin ngamuk sekaligus tertawa. Setelah belanja di Sanlitun Yashow (semacam ITC tapi lebih kecil), kami pun bertukar cerita tentang respon para pedagang China ketika kami menawar barang.

Bagian depan Sanlitun Yashow

Nah, respon-respon pedagang China inilah yang membuat saya dan Lina cengengesan sepanjang San Li Tun sampai apartemen kami yang kira-kira berjarak 2 km.

Yang perlu dicatat ketika belanja, para pedagang itu akan memasang berbagai macam ekspresi, yang kebanyakan negatif, mulai dari ekspresi marah dengan pasang muka “lu kalo nawar jangan ngaco”, sampai pasang muka melas  dan berkata, “jangan gitu dong mbak, my boss will kill me kalo mbak nawar segitu”. Haha, emang suka lebay mereka itu. Nah, buat catatan aja, ini emang hal wajar yang dilakukan mereka dalam berjualan.

Respon standar dan tergolong paling “ramah” setelah kita nawar adalah memasang muka kecut sambil bilang, “No, your price is joking”. Lalu dunia per-tawar-an pun biasanya saya respon dan berlanjut jadi begini:

“I’m not joking. You’re the who start joking with your price, give me reasonable price then. ” Jawab saya.

Dan bla bla bla bla.

Atau

Saya: “How much is this?”

Pedagang: “60 yuan”

Saya: “No. Five yuan”

Pedagang: “No, you’re kidding me,”

Saya: “Because you’re kidding me first. “

Bla bla bla bla, dan akhirnya kena deh 6 yuan, hehehehe.

Atau

Pedagang: “Madam, it’s cheap, Madam. 100 for 5 (100 yuan dapet 5 biji)”

Pedagang: “Madam, 100 for 7…. 100 for 9… 100 for 10…”

Saya: “No… 100 for 12..”

Pedagang: “No, Madam. Your price is killing me. 100 for 10 is the last price. It’s very cheap”

Dan bla bla bla bla. Akhirnya kena deh 100 yuan dapet 12 biji. 😛

——–

Beberapa respon tadi adalah respon paling standar dari pedagang di sana.

Respon lainnya ada yang lebih kacau lagi, misalnya

Saya: “How much?”

Pedagang: “200 yuan”

Saya: “No. 30 yuan.”

Pedagang: “What?? You’re crazy! I’ll kill you!” Lalu melengos.

—-

Ada juga yang seperti ini (cerita Lina),

Lina: “How much?”

Pedagang: “Two hundred (200) yuan.”

Lina: “Twenty”

Pedagang: “You’re fever..” Kata pedagangnya sambil memegang kening Lina dengan santainya (seperti kalau ngecek orang lagi demam).

Lina pun kaget lalu membalas, “ No, you’re (the one who) fever.”

Pedagang: “You’re fever”

Lina: “You’re crazy,” balas Lina sambil melengos pergi.

Yah, inti dari postingan ini sih, pedagang di Beijing kalau ngasi harga tawar itu “ape kate gue”, bisa 7 kali lipat bahkan sampai 20 kali lipat. Respon kalau kita nawar juga “suka-suka gue”, mau pasang muka melas, muka asem, sampe muka ngamuk, semuanya ada. Dan satu lagi, kata-kata yang dikeluarin waktu tawar menawar juga ajib: mulai dari “your price is joking”, “your price is killing me”, sampai “I’ll kill you” dan “You’re fever”.

Memang saya masih nemu sih pedagang yang ramah dan ngasi harga rada ‘wajar’, tapi itu mungkin cuma satu dari 50 penjual yang ada di Sanlitun, hehehe.

*Ini ceritaku… Apa ceritamu? :p

 
5 Comments

Posted by on December 19, 2011 in Beijing, trip/traveling

 

“Kemproh”nya Beijing

Di balik sistem transportasinya yang canggih, Beijing menyimpan sejuta cerita bagi saya. Ada saja yang aneh, mulai dari orang-orang China (yang betapa joroknya), belanja dengan tawaran harga 20 kali lipat dari harga aslinya, sampai dimaki-maki pedagang.

Kalau di postingan sebelumnya saya bercerita tentang indahnya autumn di Beijing, di sini saya mencoba ingin menceritakan kesan lain trip saya: sisi joroknya Beijing. Yang pernah baca buku Naked Traveler 3-nya Trinity di part “Joroknya China” mungkin tak akan kaget dengan isi postingan saya ini. Tapi yang belum, enjoy your reading… *evil_smirk

Mendadak Songong

Nah, mungkin agak tak adil kalau lantas saya menyebut orang China itu songong, lantaran saya baru mengunjungi Beijing, padahal China itu gede banget, dan juga saya ke sana cuma 9 hari. But seriously, kalau dikira-kira, dari 10 orang saya berinteraksi, 7 orang China yang saya temui itu nggak ramah, songong, dan sesekali rese’. Kurang welcome lah intinya dalam memperlakukan turis. Apalagi pedagang-pedagangnya…Beuh…!!

Sejak di Beijing, saya sendiri mendadak songong kalau jalan: mendongak ke atas. Bukan karena ketularan songong lantaran di China. Tapi, tentu semua itu ada alasan lain. Begini ceritanya….

Ketika hari pertama jalan-jalan di Beijing, waktu jalan di trotoar saya masih jalan dengan style saya: menunduk dan nguncruk (baca: jalan cepat). Tapi apa yang terjadi? Di sepanjang trotoar saya melihat ludah bertebaran, sambil sesekali ada juga eek anjing di sana-sini. Gaya meludah orang China pun semuanya sama, satu melodi: aaaarrrgggghhh….. cuih!!! Entahlah, sepertinya nggak puas meludahnya kalau nggak kaya’ begitu. Sumpah jijik banget, tapi kalau cerita saya selalu pengen ketawa, wkwkwkwk

Sejak saat itu, saya pun selalu jalan sambil mendongak ke atas (ngliatin pohon-pohon), sesekali liat jalan, untuk jaga-jaga bahwa “track” yang akan saya lewati aman dari ludah basah, dan juga pup anjing, huehehe.

Watch out: Pup Anjing!

Nah, cerita ludah itu belum seberapa jijiknya. Saya masih punya cerita jijik yang lainnya, tentang pup alias e’ek alias tembelek anjing.

Pernah suatu pagi, saya jalan di trotoar seperti biasa. Saya melihat ibu-ibu bawa anjing, lalu anjingnya pup di trotoar. Dan ibu-ibu itupun mengambil pup anjingnya itu dengan tisu lalu membuangnya ke sampah. Huehheheheh. Ada ya orang kaya’ begitu? Saking sayangnya sama anjingnya, sampai mau pegang pup-nya anjing buat dibuang ke sampah. But that’s actually the right thing yang harusnya dilakukan kalau jalan-jalan bawa anjing dan anjingnya pup: biar nggak bikin kotor jalanan. Cuma ya, tetep saja, gak habis pikir.

Ada lagi yang lebih insane daripada ngambil pup anjing dengan tisu.

Pada suatu pagi juga, saya jalan di trotoar, saya melihat kakek-kakek bawa anjing putih lucu. Eh, anjingnya pup di trotoar. Tau apa yang dilakukan di kakek setelah anjingnya pup? Si kakek itu nge-lap pantat si anjing itu dengan tisuuuuu!!!

OMG, Gokil! Udah kaya’ bayi aja si anjing abis pup dibersihin pake tisu. Saya tak cuma geleng-geleng, tapi langsung melotot heran lalu mual-mual. Belum lagi pemandangan trotoar setelah itu adalah again and again: ludah-ludah bertebaran. Huah, saya sampai berkaca-kaca karena menahan diri untuk nggak muntah-muntah.

BBB = Bau Babi Banget

Well, next. Hari-hari saya di Beijing adalah hari-hari menyenangkan, tetapi bau babi. Mau tahu kenapa? Salah satu makanan utama di sana adalah daging babi, which is selain favorit, daging babi juga daging yang paling murah. Di sana, orang makan daging babi sama halnya dengan orang di Jakarta makan daging ayam. Karena saking seringnya orang makan babi, maka bau nafas, bau badan, bau keringat pun semuanya bau daging babi. Jadi ketika di bis penuh sesak, bau yang tercium adalah bau babi. Lalu jalan di trotoar, kalau ada asap-asap makanan, itu juga bau babi. Pokoknya serba babi. Yah, pantas saja karena makanan utama mareka adalah daging babi.

Untunglah saya ke sana waktu musim gugur, which is suhunya dingin dan orang-orang cenderung nggak keringatan. Itu saja tetap kalau di bis dan kereta penuh sesak, orang-orang bau babi. Nggak bisa bayangin aja kalau ke sana pas summer: apa kabar dunia??? Bau babinya pasti nggak nahaaaannn…

Pernah sekali ketika berangkat ke conference di CNCC, saya sampai muntah-muntah di trotoar karena bau daging babi. Sejak itu, saya kapok. Setiap bau daging babi yang dimasak, saya pasti langsung tutup hidung dan lari terbirit-birit, daripada muntah. Teman saya sampai ngakak-ngakak melihat saya lari-lari sambil tutup hidung gara-gara bau babi.

Forbidden Area: Public Toilet

Nah, ini dia adalah area yang wajib untuk dihindari, kecuali mau merusak acara jalan-jalan di Beijing. Toilet umum di Beijing terkenal joroknya. Tingkat kejorokannya pun macam-macam, mulai dari jorok normal (cukup jarang ditemuin), sampai jorok nggak ketulungan. Tapi dari reference orang-orang, baik dari buku, internet, maupun cerita teman, hal ini sangat tidak acceptable buat saya. Karena udah baunya yang pesing naudzubillah, terus kelakuan orang di toilet tuh macem-macem: jongkok sambil sms lah, pup sambil ngobrol lah, ada pup yang tak diguyur, dll.

Toiletnya sendiri tidak semuanya berpintu. Teman saya, Metia, pernah cerita, bahwa ketika dia masuk toilet, sekat toiletnya cuma sampai pinggang. Tapi ya berhubung karena saking kebeletnya, apa mau dikata, tetep lah dia pipis di toilet itu. Dia sendiri mencari toilet duduk, sedangkan kebanyakan toiletnya itu jongkok. Akhirnya dia mendapat toilet duduk di pojokan, itupun seperti yang saya bilang tadi: sekatnya cuma sepinggang. Alhasil, karena dia duduk dan toilet yang lain itu jongkok, dari toiletnya dia bisa melihat “pemandangan” sekitar. Ada yang jongkok sambil asik sms-an, ada juga yang duduk dengan suara “brruuuuttt”. Nah, tau sendiri apa maksudnya “brut” panjang itu. Hehehehe.

Menurut cerita Trinity, malah ada juga juga toilet yang sama sekali tak bersekat. Jadi isinya cuma kloset-kloset jongkok berjajar. Yah, setidaknya masih dipisah antara cowok-cewek. Kalau nggak, apa kabar dunia?

Saya sendiri selama jalan-jalan tak pernah sekalipun masuk ke toilet umum. Mending kehausan daripada saya harus minum lalu kebelet pipis dan masuk ke toilet umum bikin semaput itu.

Sekalinya saya masuk toilet umum, itu adalah toilet di CNCC (semacam JCC-nya Beijing). Itupun, sekali saya pernah menemui toilet yang belum diguyur…Hehhhh!!! Ampun dah!

FYI, tak ada gambar untuk mendukung cerita kali ini. Jadi cukup reading saja dan membayangkan (itu pun kalau mau), tak perlu lihat gambar, karena saya tak mau punya foto jelek-jelek di kamera saya, jadi tak ada yang saya foto…

:p

 
4 Comments

Posted by on December 1, 2011 in Beijing, China, trip/traveling

 

Fall in Beijing

Norak foto di taman: ape kate lu dah, gak ada yg kenal gw di sini :p

Fall in Beijing, bisa diartikan 2 hal: jatuh cinta sama Kota Beijing, atau Musim Gugur di Beijing. Dua-duanya benar, karena saya hendak menceritakan asyiknya Beijing di kala musim gugur.

Hari-hari saya di Beijing adalah hari-hari yang meskipun bau babi, tapi buat saya tetap menyenangkan. Kenapa menyenangkan? Karena impian saya untuk melihat autumn atau fall season yang menurut saya romantis itu akhirnya terwujud juga, hehehehe. Ternyata tempat itu adalah Beijing, tempat pertama kali saya menikmati autumn. Setidaknya saya tetap jatuh hati pada autumn, dan saya ingin menikmati autumn di belahan bumi lain, autumn di Korea, Jepang, Eropa dan Amerika. 😀

Keluar dari Beijing International Airport (PEK), saya sangat menikmati pemandangan dari dalam mobil: daun-daun yang berwarna kuning cerah, serta sesekali daun maple yang berwarna kemerahan. Cantik sekali. Sayangnya, saat ke Beijing, saya tak sempat menemukan spot cantik untuk foto di balik pohon-pohon maple yang kemerahan. Kata orang sih, kalau mau melihat sisi autumn Beijing yang lebih colorful, sebaiknya saya ke Xiang San (entah betul atau salah tulisannya nggak tahu). Katanya tempat itu cukup jauh di pinggiran Beijing, dan tak ada cukup waktu untuk ke sana, huhuhuhu. 😦

Di sebuah taman sekitar Olympics (area Olympic Games 2008): para tukang sapu taman menyapu daun-daun yang rontok

Tapi tak apalah, pohon berdaun kuning itupun sudah sangat cantik. Saya suka sekali melihat pohon-pohon yang berdaun kuning cerah yang kalau disenggol sedikit saja langsung pada rontok. Bruuurrr…hujan daun itu pun kelihatan so sweet sekali. Warnanya pun kelihatan semangat dan colorful.

Maklum, sebagai orang Indonesia, saya sangat jarang melihat daun-daun yang berwarna meriah itu: kuning cerah, seperti kuningnya warna UI. Daun-daun merah seperti daun maple pun amat jarang. Setahu saya juga, pohon maple memang tidak tumbuh di Indonesia. Sesekali memang masih ada pohon yang punya “musim gugur” sendiri, yakni pohon ketapang. Di UI pun lumayan banyak pohon ketapang, yang kalau sedang “musim gugur”nya terlihat cantik sekali berwarna coklat kemerahan. Yang paling bagus adalah kumpulan pohon ketapang di depan MIPA dan sekitar perpus lama, hmm…coba kalau di UI banyak pohon ketapang, pasti berasa punya autumn di UI kalau mereka lagi pada berguguran, hehehe.*maksa.

Oke, balik lagi ke autumn di Beijing.

Barangkali autumn adalah musim yang sangat cocok untuk berkunjung di negeri empat musim. Alasannya? Meskipun suhunya dingin, temperaturnya masih tolerable karena belum sampai nol derajat apalagi minus. Masih asik lah untuk jalan-jalan. Jalan kaki berjam-jam pun paling kerasa pegel doang, tapi nggak keringetan. Jadi, otomatis sebenarnya menghemat baju juga, karena baju yg kita pakai bisa dipakai 2 hari, itupun nggak penguk baunya. Hehehe. Tak mandi pun tak masalah, nggak bau juga. Jadi hemat sabun dan air, wkwkwk. Tapi kalau saya sih tetep mandi tiap hari, meskipun kadang cuma sekali di pagi hari mandinya. *oooppsss, ketauan males mandi.

Alasan kedua kenapa traveling saat fall season itu asyik, tentu saja karena  alasan style baju. Artinya, bisa dipakai untuk gaya-gayaan pakai coat untuk winter yang panjang dan tebel, syal, sarung tangan, serta tutup kepala kalau perlu. Satu lagi, bisa pakai sepatu boot. Itu adalah alasan yang mungkin gak penting buat cowok, tapi penting buat saya, hehehe. Soalnya, kalau di Indonesia, kapan bisa pakai baju begitu? Okelah, ada memang coat panjang yang bisa dipakai di Indonesia, which is bahannya tipis dan memang didesain untuk daerah tropis. Saya sendiri punya 2 coat macam itu. Tapi tetap saja, saya seringkali dianggap salah kostum kalau pakai coat semacam itu. Jadi autumn adalah musim yang pas untuk memakai pakaian winter style, tapi suhunya sendiri masih asyik untuk jalan-jalan.

Ketika saya di Beijing, suhunya sekitar 4-14 derajat celcius. Bisa kebayang? Ya gitu deh, setidaknya kalau siang masih bisa lah kalau nggak pakai sarung tangan ketika outdoor. Tapi kalau suhu lagi turun sekitar 10 derajat, bisa menggigil di jalan. Secara saya kemana-mana naik subway (kereta bawah tanah) dan bis kota, jadi banyak jalan kaki. Jadi saya ke mana-mana selalu siap membawa syal dan sarung tangan di tas untuk jaga-jaga kalau suhu tiba-tiba turun. Kaos kakipun selalu nempel di kaki dengan sepatu boot.

Meskipun begitu, autumn yang cantik bisa jadi cukup terrible untuk mereka yang alergi dingin. Beberapa teman saya sampai gatal-gatal dan merah-merah kulitnya karena nggak tahan suhu dingin. Saya sendiri sih nggak sampai begitu. Ada juga yang bibirnya sampai pecah-pecah dan kulitnya mengelupas karena kelembaban udara memang relatif rendah. Saya sih, sekali lagi, alhamdulillah nggak. Karena kalau untuk masalah kulit, insha Allah semua itu bisa diantisipasi kalau kita mau prepare. Saya tak pernah meninggalkan lipbalm, pelembab muka, dan body butter (yang lebih melembabkan daripada body cream atau hand & body lotion). Alhamdulillah, kulit saya nggak sampai ngelupas-ngelupas seperti teman-teman cowok saya yang bandel nggak mau rajin pakai lipbalm, dkk.

Jadi, saran saya, tetap be prepare untuk autumn yang dingin itu, kalau tidak ingin merusak cantiknya autumn ketika traveling. Happy traveling 🙂