RSS

Daily Archives: February 8, 2011

Embarassing Moment di Restoran Pakistan (Insane Story in Bangkok Part-3)

Ini adalah cerita malam terakhir kami jalan-jalan berlima di Bangkok.

Setelah maghrib, kami bertemu di hostel tempat saya, Edwin, dan Endy menginap. Nama hostel itu Sawatdee, lokasinya dua gang setelah kantor SEAMEO-SPAFA, masih berada di jalan Sri Ayutthaya. Ya, kira-kira 50an meter lah jauhnya.

Kak Fadhli kehilangan kameranya, entah ditaruh di mana, dia lupa. Sudah dicari pun tidak ketemu. Tapi ya sudahlah, katanya, lets enjoy the nite aja… Kalau masih rizqi besok juga ketemu. Oke, kami pun langsung cao mencari taksi menuju MBK—berburu souvenir.

narsis di salah satu dinding MBK

Memang banyak hal yang aneh di Bangkok. Terkadang kami geli, tapi juga merasa seru. Ketika kami sedang di MBK, dan saya telpon-telponan dengan Darid, teman Thailand yang saya temui di Pakistan. Kami sudah membuat agenda untuk bertemu malam itu.

Darid bilang akan segera menyusul saya ke MBK, dan saat itu dia mengatakan kalau dia sedang di Nana. Lalu…

”Kalian mau ke Nana nggak??” Tanya saya seketika kepada F4 wannabe (waktu itu sebutan mereka belum F4 wannabe, tapi masih SMASH wannabe)

”Mau, mau, mau!!!” Jawab mereka rame-rame. Dasar cowok, pikir saya. Hahahaha

Mereka ingin ke Nana karena penasaran dengan salah satu red area itu. Yah, hanya sightseeing membandingkan dengan red area di Silom dan Khaosan gitu ceritanya… hehehe

Kami pun kembali ke Subway National Stadium, dan entah naik MRT/skytrain saya juga lupa. Yang jelas kami menuju Nana Station. The silly thing is, harusnya kami berhenti di interchange station yang saya lupa namanya. Tapi kami bablas saja. Jadilah kami harus turun dan kembali ke arah national stadium untuk menuju ke interchange station tadi. Saya pun sms Darid kalau we’re get lost! Lebay lagi, padahal nggak kesasar juga, cuma kebablasan, 😀

Sampai di Nana, kami menunggu jemputan Darid. Cukup lama, karena saya tidak bisa memberi ancer-ancer yang jelas kepada Darid. Well, i did not know where we were exactly. Lalu saya bilang kalau kami sedang di Nana eleven, tapi alamak, Darid pun salah dengar. Maklum, di sana rame sekali. Darid mengira tadi saya mengatakan ”Nana seven”, padahal saya di Nana eleven (mirip-mirip lah “seven” sama “eleven”).

Akhirnya daripada salah lagi, Darid meminta saya memberikan telpon saya ke salah satu orang yang ada di trotoar tempat kami berada. Ke siapa saja, yang penting orang Thailand. Jadilah Darid dan seorang Bapak-bapak penjual baju-baju bola  bicara di hp saya. Setelah Darid dan bapak-bapak itu berbicara cang cing cung sebentar, lalu kami pun menunggu lagi jemputan Darid sambil nyanyi lagunya Ridho Roma yang judulnya “menunggu”…

*Ga ding, ngarang kalo ini…. 😉

Akhirnya, Darid datang juga. And we’re getting so excited meeting each other! Tapi gak se-excited ketika saya bertemu Marut (teman Thailand saya juga)…di mana waktu ketemu di salah satu halaman Rajamangala University, kami langsung lari-lari seperti di film India…

*Halah, lebay lagi. Hahaha

Lanjut. Kami pun berjalan dari Nana Eleven ke Nana Three. Lumayan juga, tapi nggak terasa karena kami rame-rame dan sepanjang jalan saya ngobrol dengan Darid. Saat itu kira-kira sudah pukul 10 malam, sementara Kak Fadhli dan Kak Erik belum makan malam. Saya, edwin, dan Endy sih sudah mengganjal perut sebelum kami jalan dengan makanan dewa: mie gelas dan pop mie. 🙂

Lalu Darid mengajak kami ke sebuah Restoran Pakistan. Setelah berdebat kusir panjang (apalagi kalo bukan membicarakan soal harga: yang menurut kami lumayan. Maklum, mahasiswa yang jalan-jalan on budget). Saya nggak ikut-ikut debat kusir karena saya mengobrol dengan Darid. Akhirnya SMASH wannabe memutuskan untuk mengambil satu paket makanan pakistan yang harganya 360 baht. Harusnya paket itu untuk 3 orang, tapi dimakan berlima.

Kalau di negeri sendiri, malulah pastinya maksa makan paket ber-3 tapi dimakan berlima. Secara, kondisi restorannya sangat pakistan, mungil, dan pake selalu ditunggui pelayan segala. Tapi kalau di negeri orang mah prinsipnya, ”Bodo amat, ga ada yang kenal gw di sini,” 😀

Jadilah kami ”ngemil” makanan pakistan itu, tentu saja sambil melakukan a-must-thing-to-do-anywhere-anytime alias: FOTO-FOTO. Saya sebut ”ngemil” karena memang paketnya nggak bikin kenyang meskipun dimakan sesuai aturan alias ber-3.

Nah, soal foto-foto ini, ada yang kocak, berasa urat malu kami sudah putus saja waktu itu. Ceritanya, saat kami sedang mengobrol sambil makan, Darid bertanya,

”Kalian nggak nambah pesanan? Apa segitu cukup?” Dalam bahasa Inggris tentunya.

”Ah, nggak. Setelah makan ini mereka (SMASH wannabe) akan makan lagi di luar. Tenang saja. Lagipula, mana mungkin cowok-cowok makan segitu cukup?” Jawab saya sok cool, sedikit mencari alasan untuk menjaga ”martabat” kami sebagai traveler on budget. Padahal mah alasannya karena harga makanan di situ mahal-mahal, hahaha

”Yess, we just wanna experience the foods” Sambung Edwin, masih untuk menutupi ke-kere-an kami…hahaha

”And do you know the basic idea why do we take this expensive dinner here??” Tiba-tiba si Endy pun nyelonong menambahi sekaligus menjawab pertanyaannya sendiri,

“Sebenernya, kami mau mahal-mahal makan di sini cuma buat foto-foto!!”

DUENG!

Kami pun tertawa geli, sekaligus agak kecut karena Endy telah “menghancurkan martabat” kami yang susah-susah kami jaga di depan Darid dan pelayan restoran yang pastinya mengerti bahasa Enggres! (Doh!)

the reason we're here: to take photo!

hope will back to nana again someday 😀

Depok, 9 Februari 2011

00:26 am (GMT+7)

 
 

Kutukan dari Bangkok (Insane Story in Bangkok, Part-2)

Tak hanya banyak cerita, tetapi juga banyak “kutukan” di Bangkok. Yang pertama saya sebut sebagai “Kutukan Wat Arun” (di mana teman-teman traveling saya, setelah pulang dari sana kemudian menjadi SMASH wannabe). Yang kedua, kami sebut dengan ”Kutukan Nana Empat”. Dan yang ketiga, saya sendiri menyebutnya dengan “Kutukan Kripik Durian”!

Kutukan Wat Arun

Wat Arun (glowing banget kalo malem)

Selesai dari forum, saya, Kak Erik, Kak Fadhli, Edwin, dan Endy berencana jalan ke Wat Arun yang berada di seberang sungai Chao Phraya. Dari depan Rajamangala, kami jalan menuju tepi sungai Chao Phraya dengan menggunakan Peta Bangkok yang saya ambil di Svarnabhumi Airport. *berasa jadi Dora

Perjalanan saya dan SMASH wannabe mencari ladyboy bermula dari sini…

Kenapa?

Karena meskipun ini malam kedua kami menghabiskan waktu jalan-jalan bersama di Bangkok, ini adalah malam kali pertama kami jalan-jalan hanya berlima…dan sejak itulah mereka menjadi SMASH wannabe (yang kemudian, mungkin karena masih galau dengan cita-cita sendiri, beberapa hari kemudian mereka pun berubah menjadi F4 wannabe). 😀

Sampailah kami di tepi sungai Chao Phraya, di salah satu dermaga kapal-kapal yang memang disediakan untuk menyeberang Chao Phraya. Nah, dari situ, kami membayar masing-masing 14 baht (sekitar 7500 rupiah) untuk menuju Wat Arun. Ternyata kapal yang kami naiki itu tidak langsung sampai di Wat Arun, tetapi hanya sampai tepat di seberang Wat Arun (di belakang Royal Grand Palace). Dari sana, kami masih harus naik perahu lagi dengan membayar hanya 3baht atau 900rupiah! *Inilah asiknya Thailand, asik tapi murah…

mencari rute selanjutnya (di atas perahu Chao Phraya)

Setelah naik perahu lagi, sampailah kami di Wat Arun. Sayangnya, kami hanya bisa berada di halaman Wat Arun karena sudah tutup. Jadi kami pun tidak bisa naik ke Wat Arun. Di sana, tak ada yang kami lakukan selain foto-foto sambil menahan lapar (meskipun lapar kami tetap ceria!). Sambil mondar mandir sana sini, kami juga mengganjal perut dengan cookies monde dan sebatang coklat cangki bar-nya silverkwin.

Dari sinilah, mulai muncul kebiasaan nari-nari gaya smash, sambil tentu saja nyanyi-nyanyi bagian reff ”I heart you”nya SMASH.

”You know me so well….Girl I need you… Girl I love u…”

Hahahaha, dudul.

narsis sambil menunggu perahu di dermaga Wat Arun

narsis sambil menunggu perahu di dermaga Wat Arun

Aneh saja rasanya.

Karena ketika di awal-awal saya kenal mereka, sepertinya mereka itu tipe orang yang kalem-kalem saja (kecuali Endy yang gondrong tentunya, hahahaha).

Tapi setelah dari Wat Arun kenapa mereka jadi begitu??

Jadi kesimpulan saya, mungkin itu memang karena efek kutukan Wat Arun. Wkwkwk

Kutukan Nana Empat

Selanjutnya adalah cerita tentang Kutukan Nana Empat.

Begini sejarahnya….

Nana adalah nama suatu kawasan di Bangkok. Area Nana ini berada di jalan utama yang bernama Sukhumvit Road. Kawasan Nana sendiri terbagi menjadi banyak kawasan yang disebut Nana One, Nana Two, Nana Three, and so on (yang angka akhirnya saya sendiri tidak tahu). Salah satunya kawasan Nana yang bernama Nana Four, adalah salah satu red area di Bangkok. Di Nana Four atau Nana Empat ini, bertebaranlah ladyboy mau pun perempuan beneran yang ”nongkrong” di bar-bar atau pinggiran jalan Nana.

Parahnya, sejak dari Nana empat, kami jadi selalu ceng-cengan soal hombreng alias homo. Korbannya adalah Edwin dan Kak Erik. Dan itu kami sebut sebagai kutukan Nana Empat. Karena sejak dari Nana Empat itulah kami mencomblangkan Kak Erik dan Edwin…Kalau tidak percaya lihat saja foto-fotonya, *evil_smile

Edwin flirting sm Kak Erik *dampak beberapa hari di Bangkok

Kutukan Kripik Durian

Bagi yang suka durian, ini barangkali adalah kutukan yang sangat berbahaya, karena bisa berdampak membuat kita menghabiskan semua uang untuk beli kripik durian yang rasanya bisa membuat kita berekspresi berikut ini:

1. Hmmm,,,,,uenak bangeeeeettt…..(harap dibaca dengan mata merem dan slow motion geleng-geleng kepala)

Atau

2. Mmm! Enak mati!

Atau

3. Mmm! Enak mampus!

Dua ekspresi terakhir itu harap dibaca dengan mata melotot.

*Hahaha, apa banget deh saya….

Saya sebut begitu, karena saking enaknya kripik durian montong Bangkok. Sama sekali bukan me-lebay-kan rasanya, apalagi me-lebay-kan diri sendiri (istilah apa pula itu?). Tapi bagi penggemar durian (kalau tidak mau disebut ”penggila” alias jadi insane meskipun kalau baru lihat gambar durian), kripik durian montong adalah salah satu A-Must-Thing-To-Buy di Bangkok.

Tapi saran saya, mendingan beli kripik durian di akhir-akhir saja, jadi tidak kalap menghabiskan uang untuk nye-tok kripik durian di Indonesia. Karena bagi saya, kalau seandainya saya mencoba kripik durian itu pas saya masih berada di Bangkok, dan saya masih di hari-hari awal berada di bangkok, bisa jadi saya menghabiskan uang untuk membeli kripik durian. Yang kemudian bisa berdampak pada kehidupan masa depan jalan-jalan saya di Thailand di hari-hari berikutnya yang bisa jadi berakhir tragis, hahaha…

Setelah bertapa seharian di kamar kosan,

Depok, 8 Februari 2011

17.55 pm

 
2 Comments

Posted by on February 8, 2011 in experience, moment, trip/traveling